Judul : Masa Perkembangan dan Kemunduran Kerajaan Ternate
link : Masa Perkembangan dan Kemunduran Kerajaan Ternate
Masa Perkembangan dan Kemunduran Kerajaan Ternate
Ternate semakin berkembang dimasa pemerintahan Sultan Bayanullah (1500-1521) yang mewajibkan rakyatnya untuk berpakaian secara Islami. Kemajuan dalam teknik pembuatan perahu dan senjata yang diperoleh dari orang Arab dan Turki juga digunakan pada masa ini untuk memperkuat pasukan Ternate. Di masa ini pula datang orang Eropa pertama di Maluku, Loedwijk de Bartomo (Ludovico Varthema) tahun 1506. Di tahun 1512, Portugal untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Ternate di bawah pimpinan Fransisco Serrao. Karena menganggap bahwa kedatangan Portugal itu untuk berdagang, maka Sultan mengizinkan Portugal untuk mendirikan pos dagang di Ternate. Tetapi ternyata kedatangan Portugal bukan semata-mata untuk berdagang, melainkan juga ingin menguasai perdagangan rempah-rempah Pala dan cengkih di Maluku.

Pada saat Sultan Bayanullah wafat, beliau meninggalkan para pewaris yang masih sangat belia. Janda sultan, permaisuri Nukila, dan adik almarhum sultan (Pangeran Taruwese) akhirnya bertindak sebagai wali. Permaisuri Nukila yang berasal dari Tidore bermaksud menyatukan Ternate dan Tidore di bawah satu mahkota yakni salah satu dari kedua puteranya, pangeran Hidayat (kelak menjadi Sultan Dayalu) dan pangeran Abu Hayat (kelak menjadi Sultan Abu Hayat II). Sementara pangeran Tarruwese menginginkan tahta bagi dirinya sendiri. Di masa-masa perebutan
kekuasaan internal inilah Portugal kemudian memanfaatkannya dengan mengadu domba keduanya hingga terjadi perang saudara. Kubu permaisuri Nukila didukung oleh kerajaan Tidore sedangkan pangeran Taruwese didukung Portugal. Namun setelah meraih kemenangan atas saudaranya sendiri, Pangeran Taruwese justru dikhianati dan dibunuh Portugal.
Gubernur Portugal yang akhirnya bertindak sebagai penasihat kerajaan, berhasil membujuk dewan kerajaan untuk mengangkat pangeran Tabariji sebagai sultan. Tetapi ketika Sultan Tabariji mulai menunjukkan sikap bermusuhan, ia difitnah dan dibuang ke Goa, India. Di sana ia dipaksa Portugal untuk menandatangani perjanjian agar menjadikan Ternate sebagai kerajaan Kristen dan vasal kerajaan Portugal, namun perjanjian itu ditolak mentah-mentah oleh putra Sultan Bayanullah, Sultan Khairun (1534-1570).
Melihat perlakuan Portugal terhadap saudara-saudaranya membuat Sultan Khairun geram dan bertekad mengusir Portugal dari Maluku. Perilaku yang semena-mena dari Portugal itu juga menimbulkan kemarahan rakyat yang akhirnya berdiri di belakang Sultan Khairun. Sejak masa Sultan Bayanullah, Ternate telah menjadi salah satu dari tiga kesultanan terkuat dan pusat Islam utama di Nusantara abad ke-16 selain Aceh dan Demak setelah kejatuhan kesultanan Malaka tahun 1511. Ketiganya sepakat untuk membentuk Aliansi Tiga untuk membendung sepak terjang Portugal di Nusantara.
Tak ingin mengalami nasib seperti Malaka, Sultan Khairun akhirnya mengobarkan perang pengusiran terhadap Portugal. Kedudukan Portugal kala itu sudah sangat kuat, selain memiliki benteng dan kantong kekuatan di seluruh Maluku mereka juga telah memiliki sekutu-sekutu dari suku pribumi yang bisa dikerahkan untuk menghadang Ternate. Dengan adanya Aceh dan Demak yang terus mengancam kedudukan Portugal di Malaka, Portugal di Maluku kesulitan mendapat bala bantuan hingga terpaksa memohon damai kepada Sultan Khairun.
Secara licik Gubernur Portugal, Lopez de Mesquita mengundang Sultan Khairun ke meja perundingan. Tanpa berburuk sangka dan berpikir bahwa Portugal akan menyerah, maka di datangilah perundingan tersebut. Namun ternyata di sana Sultan yang datang tanpa pengawalnya dibunuh dengan kejam. Pembunuhan Sultan Khairun membuat rakyat semakin terbakar amarahnya dan akhirnya mendorong rakyat Ternate untuk menyingkirkan Portugal, bahkan seluruh Maluku kini mendukung kepemimpinan dan perjuangan Sultan Baabullah (1570-1583) karena merasa Portugal telah kelewat batas kemanusiaan. Pos-pos Portugal di seluruh Maluku dan wilayah timur Indonesia pun digempur dan setelah peperangan selama 5 tahun, akhirnya Portugal meninggalkan Maluku untuk selamanya di tahun 1575. Kemenangan rakyat Ternate dalam menyingkirkan Portugal tercatat sebagai kemenangan pertama putra-putra nusantara atas kekuatan barat.
![]() |
Benteng Tolukko, Ternate |
Di bawah kepemimpinan Sultan Baabullah, Ternate mencapai puncak kejayaan dengan wilayah yang membentang dari Sulawesi Utara dan Tengah di bagian barat hingga kepulauan Marshall di bagian timur dan dari Filipina (Selatan) di bagian utara hingga kepulauan Nusa Tenggara di bagian selatan. Bahkan karena luasnya daerah yang dikuasai oleh Sultan Baabullah, dengan wilayah yang terdiri dari kepulauan-kepulauan besar dan kecil, Sultan Baabullah dijuluki dengan ”Penguasa 72 Pulau” yang semuanya berpenghuni. Sejarawan asal Belanda, Valentijn, menuturkan secara rinci nama-nama ke-72 pulau tersebut dan menganggap kesultanan Ternate sebagai kerajaan Islam terbesar di Indonesia timur, di samping Aceh dan Demak yang menguasai wilayah barat dan tengah nusantara kala itu. Periode keemasan tiga kesultanan ini selama abad 14 dan 15 adalah pilar pertama yang membendung kolonialisme barat.
Kemunduran Kerajaan Ternate
Sepeninggal Sultan Baabullah, Ternate mulai melemah. Spanyol yang telah bersatu dengan Portugal pada tahun 1580 kembali mencoba menguasai Maluku dengan menyerang Ternate. Dengan kekuatan baru, Spanyol memperkuat kedudukannya di Filipina. Sementara di tempat lain, untuk menghadapi aliansi dari Spanyol dan Portugal yang kembali menyerang, Ternate pun menjalin aliansi dengan Mindanao yang merupakan musuh dari Spanyol. Sayangnya, serangan yang dilakukan oleh Ternate dan Mindanao gagal, bahkan Sultan Said Barakati (1583-1606) berhasil ditawan Spanyol dan dibuang ke Manila.Kekalahan yang terus-menerus melanda itu memaksa Ternate untuk meminta bantuan dari Belanda tahun 1603. Ternate akhirnya sukses menahan Spanyol tapi dengan imbalan yang sangat mahal, yaitu berupa kontrak untuk memberikan kebebasan Belanda dalam menguasai sebagian hasil rempah-rempah. Perlahan-lahan Belanda pun akhirnya menguasai Ternate dan pada 26 Juni 1607, Sultan Ternate terpaksa menandatangani kontrak monopoli VOC di Maluku sebagai imbalan bantuan Belanda melawan Spanyol seperti yang telah dijanjikan sebelumnya. Pada tahun 1607 pula Belanda membangun benteng Oranje di Ternate, yang menjadi benteng pertama yang didirikan Belanda di nusantara.
![]() |
Istana Kesultanan Ternate |
Sejak awal, hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang antara Belanda dan Ternate menimbulkan ke tidak puasan rakyat, para penguasa dan bangsawan Ternate. Pangeran Hidayat, seorang raja muda Ambon yang juga merupakan mantan wali raja kerajaan Ternate akhirnya memimpin oposisi yang menentang kedudukan sultan dan Belanda. la mengambil langkah berani dengan mengabaikan perjanjian monopoli dagang Belanda dengan nekat menjual rempah-rempah kepada pedagang Jawa dan Makassar.
Semakin lama cengkeraman dan pengaruh Belanda terhadap sultan-sultan Ternate semakin kuat, di mana dengan leluasa Belanda bisa mengeluarkan peraturan yang merugikan rakyat lewat perintah sultan. Sikap Belanda yang kurang ajar ditambah sikap dari sultan yang penurut menimbulkan kekecewaan semua kalangan. Sepanjang abad ke-17, setidaknya ada 4 pemberontakan yang dikobarkan bangsawan Ternate dan rakyat Maluku:
- Tahun 1635, berawal dari Hongi Tochten (penebangan besar-besaran pohon cengkeh dan pala di seluruh Maluku yang dilakukan oleh Belanda demi memudahkan pengawasan dan mengatrol harga rempah yang merosot), rakyat mengobarkan perlawanan. Tahun 1641, dipimpin oleh raja muda Ambon Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan gabungan Ternate-Hitu-Makassar menggempur berbagai kedudukan Belanda di Maluku Tengah. Salahakan Luhu kemudian berhasil ditangkap dan dieksekusi mati bersama seluruh keluarganya pada 16 Juni 1643. Perjuangan lalu dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, kapita Hitu Kakiali dan Tolukabessi hingga 1646.
- Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di Ternate dan Ambon karena dipicu oleh sikap Sultan Mandarsyah (1648-1650 dan 1655-1675) yang terlampau akrab dan dianggap cenderung menuruti kemauan Belanda. Para bangsawan berkomplot untuk menurunkan Mandarsyah. Tiga pemberontak yang utama di antaranya adalah Pangeran Saidi (Kapita Laut atau panglima tertinggi pasukan Tenaate), Pangeran Majira (raja muda Ambon), dan Pangeran Kalumata (adik sultan Mandarsyah). Saidi dan Majira memimpin pemberontakan di Maluku tengah, sementara Kalumata bergabung dengan raja Gowa, Sultan Hasanuddin, di Makassar. Mereka bahkan sempat berhasil menurunkan sultan Mandarsyah dari tahta dan mengangkat Sultan Manila (1650-1655). Namun berkat bantuan Belanda, kedudukan Mandarsyah kembali dipulihkan. Setelah 5 tahun pemberontakan Saidi dan kelompoknya berhasil dipadamkan oleh Belanda. Pangeran Saidi disiksa secara kejam hingga mati sementara pangeran Majira dan Kalumata menerima pengampunan Sultan dan hidup dalam pengasingan.
- Pemberontakan yang ketiga dilakukan oleh Sultan Muhammad Nurul Islam atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Sibori (1675-1691) yang merasa gerah dengan tindakan Belanda yang semena-mena. Sultan Sibori pun menjalin persekutuan dengan Datuk Abdul Rahman, penguasa Mindanao. Namun upayanya untuk menggalang kekuatan menjadi kurang maksimal karena daerah-daerah strategis yang bisa diandalkan untuk basis perlawanan terlanjur jatuh ke tangan Belanda oleh berbagai perjanjian yang dibuat para pendahulunya. Sultan Sibori kalah dan terpaksa menyingkir ke Jailolo. Kemudian pada 7 Juli 1683 Sultan Sibori terpaksa menandatangani perjanjian yang intinya menjadikan Ternate sebagai kerajaan dependen Belanda. Perjanjian inilah yang mengakhiri masa kerajaan Ternate sebagai negara berdaulat.
- Pemberontakan terakhir terjadi tahun 1914 dan dipimpin oleh Sultan Haji Muhammad Usman Syah (1896-1927) yang menggerakkan perlawanan rakyat di wilayah-wilayah kekuasaannya. Bermula di wilayah Banggai di bawah pimpinan Hairuddin Tomagola, namun pemberontakan tersebut gagal dikarenakan masih terlalu lemah dan tidak matangnya serangan yang dilancarkan oleh Hairuddin Tomagola. Kemudian di Jailolo, rakyat Tudowongi, Tuwada dan Kao di bawah pimpinan Kapita Banau berhasil menimbulkan kerugian besar di pihak Belanda, di mana banyak prajurit Belanda yang tewas termasuk Coentroleur Belanda Agerbeek, markas dan pos-pos penjagaan mereka berhasil diobrak-abrik. Pemberontakan oleh Kapita Banau ini tidak berlangsung lama karena keunggulan militer dan persenjataan Belanda lebih lengkap. Akhirnya perlawanan tersebut berhasil dipatahkan dan kapita Banau ditangkap serta dijatuhi hukuman gantung.
Sempat muncul keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk menghapus kesultanan Ternate namun niat itu urung dilaksanakan karena khawatir akan reaksi keras yang bisa memicu pemberontakan baru, sementara letak Ternate yang berada jauh dari pusat pemerintahan Belanda di Batavia.
Sementara dalam hal warisan, sebenarnya peninggalan Ternate tidak sebanding dengan kebesaran namanya. Tidak ada warisan intelektual, arsitektur ataupun seni berkualitas tinggi yang ditinggalkannya. Satu-satunya warisan sastra yang ditinggalkan hanyalah Dolo Bololo Sedalil Moro. Sastra ini berbentuk puisi, peribahasa, dan ibarat (perumpamaan perumpamaan) yang kebanyakan berisi pendidikan moral tradisional. Padahal, sebagai bandar utama rempah-rempah di Maluku, Ternate sudah berhubungan dengan peradaban yang lebih maju seperti Jawa, Melayu, Cina, Arab dan Eropa. Namun, sepertinya hal itu tidak meninggalkan pengaruh.
Berkaitan dengan absennya kebudayaan tulis, mungkin disebabkan karena Ternate selalu sibuk dengan urusan peperangan dan konflik. Sebelum Eropa datang, Ternate berkonflik dengan kerajaan sekitarnya karena memperebutkan hegemoni dan setelah bangsa Eropa datang, konflik terjadi dengan bangsa Eropa. Implikasinya, orang Ternate mencurahkan segenap energinya hanya untuk mempertahankan diri. Karena alasan-alasan inilah maka seni budaya seperti tarian cakalele, memiliki watak militer.
Raja atau Sultan yang pernah berkuasa di Kerajaan ternate
Berikut ini adalah urutan dari beberapa kolano dan sultan yang pernah berkuasa di Ternate. Data berikut belum lengkap, karena masih banyak nama sultan yang belum tercantum. Penulisan nama-nama sultan ini diurutkan berdasarkan dengan urutan tahun dia menjadi sultan.1. Kolano Baab Mashur Malamo (1257-1272)
7. Kolano Cili Aiya (1322-1331)
17. Kolano Marhum (1465-1486)
18. Sultan Zainal Abidin (1486-1500)
19. Sultan Bayanullah (1500-1521)
20. Pangeran Taruwese
21. Pangeran Tabarij
22. Sultan Khairun (1534-1570)
23. Sultan Baabullah (1570-1583)
-Sultan Mandar Syah (1648-1650)
-Sultan Manila (1650-1655)
-Sultan Mandar Syah (1655-1675)
-Sultan Sibori (1675-1691)
-Sultan Muhammad Usman (1896-1927)
Demikianlah Artikel Masa Perkembangan dan Kemunduran Kerajaan Ternate
Sekianlah artikel Masa Perkembangan dan Kemunduran Kerajaan Ternate kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Masa Perkembangan dan Kemunduran Kerajaan Ternate dengan alamat link https://suksuksay.blogspot.com/2019/10/masa-perkembangan-dan-kemunduran.html
0 Response to "Masa Perkembangan dan Kemunduran Kerajaan Ternate"
Posting Komentar