Faktor Kehancuran Turki Usmani Sebagai Kekhalifahan Islam Terakhir

Faktor Kehancuran Turki Usmani Sebagai Kekhalifahan Islam Terakhir - Hallo sahabat Suka Suka Saya, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Faktor Kehancuran Turki Usmani Sebagai Kekhalifahan Islam Terakhir, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Penyakit Menular dan Infeksi, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Faktor Kehancuran Turki Usmani Sebagai Kekhalifahan Islam Terakhir
link : Faktor Kehancuran Turki Usmani Sebagai Kekhalifahan Islam Terakhir

Baca juga


Faktor Kehancuran Turki Usmani Sebagai Kekhalifahan Islam Terakhir

Syafiq A. Mughni, dalam bukunya sejarah kebudayaan Islam di Turki membagi masa kekuasaan kerajaan Turki Usmani menjadi lima periode. Berikut penjelasan kelima periode tersebut.

Periode pertama, antara tahun 1299-1402 M, merupakan masa berdirinya kerajaan, ekspansi pertama sampai kehancuran sementara oleh serangan Timur.

Periode kedua (1402-1566 M), ditandai dengan upaya restorasi kerajaan dan cepatnya pertumbuhan sampai ekspansinya yang terbesar. Sampai dengan masa kejayaan Turki Usmani di bawah kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qonuni, sebenarnya telah mulai nampak bibit-bibit kemunduran. Pandangan ini lebih disebabkan oleh ketergantungan dinasti ini kepada kesinambungan kekuatan politik seorang sultan. Kemajuan-kemajuan yang diraih Turki Usmani lebih disebabkan oleh kecakapan Sultan daripada oleh sebuah sistem politik yang bagus.

Para Sultan terdahulu, sebelum mereka naik tahta, telah dibekali oleh kemampuan politik dan militer yang mereka peroleh dari pengalaman mereka di medan perang dan saat menjadi pemimpin lokal. Sistem kaderisasi ini mulai nampak lemah, ketika para elit politik Turki Usmani berusaha memperlemah kecakapan para calon sultan dengan mengkondisikan mereka agar lebih suka menghabiskan waktu di keputren, dengan para harem, ketimbang urusan pemerintah. Hal ini mereka lakukan agar tetap mempunyai kekuasaan yang besar. Dan ini hanya dapat terwujud apabila kondisi Sultan lemah, sehingga mereka dapat menyetir Sultan sesuai dengan kepentingan mereka.

Periode ketiga (1566-1699M), merupakan suatu masa yang ditandai oleh kemampuan Usmani untuk mempertahankan wilayahnya, sampai kemudian Usmani kehilangan wilayah Hongaria dari kekuasaannya. Di masa periode ini Usman dipimpin oleh tiga belas Sultan, Pasca Sultan Sulaiman I Usmani menghadapi tantangan dari dua kekuatan negara tetangga, yakni kerajaan Austria di Eropa dan kerajaan Shafawi di Asia. Menghadapi dua kekuatan ini memaksa Usmani untuk mempersiapkan daerah penyangga sebagai benteng pertahanan dari masuknya musuh yang datang secara tiba-tiba. Bosnia dan Hongaria dijadikan daerah penyangga dari pasukan Austria (Mughni, 1997:62 dan Ahmad, 1972:52).

Ketidak mampuan Sultan mulai nampak dalam periode ini. Mereka kurang terlibat langsung dalam Administrasi Negara, meskipun mereka tetap mempunyai tradisi kebesaran. Peran perdana menteri (Grand Wazir) mulai menyeruak ke permukaan dan menjadi dominan, seperti Mehmed Sakullu di bawah Salim II, Sinan Pasha di bawah Muhammad III, Murad Pasha dan Khalil Pasha di bawah Ahmad I dan Usman II. Kemudian pada paruh kedua abad ke tujuh belas, muncul para elit politik dari keluarga koprulu, seperti Mehmed Koprulu, Ahmad Pasha dan Mushafa Pasha. Qurrah mushafa pasha juga nampak peran pentingnya setelah berhasil mengepung kota Vienna pada tahun 1683 M (Ahmad, 1979:54; Ahmad, 1994:23 dan Mughni, 1997: 63).

Ketidak mampuan para Sultan pada akhirnya juga membawa kerajaan kepada konflik internal. Perebutan kekuasaan antara putra Sultan Ahmad I merupakan konflik yang paling menyolok. Empat orang putranya yakni Mushthafa I, Usman II, Murad IV dan Ibrahim I, yang masih sangat muda silih berganti merebut kekuasaan. Perebutan kekuasaan tersebut merupakan akibat dari persaingan elit politik untuk mempertahankan kepentingannya masing-masing. Peran wanita juga sangat menonjol khususnya pada masa Mehmed II. Meskipun secara de yure, ia adalah Sultan, sebenarnya secara de fakto kekuasaan berada di bawah Korem, neneknya, kemudian dilanjutkan oleh Turkhan, ibu Mehmed II, yang mendominasi kekuasaan. Masa kekuasaan Turkhan ini kemudian dikenal dengan kesultanan wanita” (the Sultanate of the women). (Itzkowitz, 1994: 282; Ahmad 1979:53).

Sementara kerajaan banyak menghadapi konflik internal, Usmani juga harus menghadapi serangan dari musuh-musuhnya. Pada masa itu pula, pasukan Jenissari yang kuat itu mengalami kekalahan untuk yang pertama kalinya. Pada tahun 1992 Usmani dikalahkan oleh Austria di Kerezten dan menghasilkan perdamaian Zsituatorok pada tahun 1606 M. Kemudian pada tahun 1604 Persia berhasil mengalahkan Usmani dan memaksanya untuk menandatangani perjanjian damai pada tahun 1612 M. (Ahmad, 1979:53). Pada akhir periode ini.

Usmani juga mengalami kekalahan dari pasukan Rusia yang bergabung dengan liga suci (the Holy league) pada tahun 1687. Pada 1699 M, Usmani menandatangani perjanjian Karlowitz dan banyak wilayah yang lepas. Pada masa ini untuk pertama kalinya wilayah yang secara tradisional dihuni oleh orang muslim berada di bawah kekuasaan Kristen (Itzkowitz, 1994; 283).

Periode keempat (1688-1839) adalah masa surutnya kekuasaan Usmani secara berangsur-angsur dan pecahnya wilayah di tangan para penguasa lokal. Pada awal periode ini, Usmani harus menghadapi ujian yang berat dari Rusia, yang saat itu berada di bawah Tsar Peter yang Agung (the great). Perempuan Austria pun mewarnai periode ini, dan pada tahun 1717 Usmani mengalami kekalahan. Perjanjian perdamaian dengan Austria akhirnya ditandatangani pada tanggal 21 Juli 1918, dengan menyerahkan wilayah Timsuar dan Begrado serta sebagian besar Servia dan Falakh (Hamka, tt; 287).

Kekalahan juga terjadi pada satu bertempur dengan Persia yang menyebabkan Sultan Ahmad III dipaksa turun dari tahta pada tahun 1730 M. Adapun kekalahan yang sangat melumpuhkan Usmani adalah dalam melawan Rusia pada tahun 1768, karena Usmani harus kehilangan Bulgaria dan mengakui kemerdekaan Krime serta kontrol Rusia atas daerah di sekitar sungai Danub. Rusia tidak begitu saja puas dengan kemenangan tersebut, mereka tetap berambisi untuk menguasai Istambul dengan berbagai macam cara dan rencana (Ahmad, 1979:58-59).

Kekuatan-kekuatan musuh memang sengaja bekerja sama untuk menghancurkan Turki Usmani. Pembagian kerja pun dibagi antara Rusia, Austria, Inggris dan Perancis. Rusia dan Austria bertugas menggempur langsung Turki Usmani hingga menjadi lemah dan lumpuh. Sementara Inggris dan Perancis menghasut Wilayah-wilayah Turki Usmani untuk melawan dan memberontak pada pemerintahan Sultan (Ahmad, 1979:59).

Perlawanan terhadap Turki Usmani juga datang dari kelompok militer mereka sendiri, Jenissari dan Sipahi, pada tahun 1730 M. Pemberontakan tersebut dikarenakan mereka merasa tersaingi dengan semakin menguatnya dominasi perdana menteri dalam kekuasaan kerajaan. Dominasi mereka itu dikhawatirkan akan mengancam eksistensi militer di tubuh Turki Usmani (Mughuni, 1997:65).

Pada periode ini pemerintah pusat sangat lemah di dalam mengontrol daerah kekuasaan, sementara kekuasaan pemimpin lokal semakin menguat. Aljazair, Tunisia, dan Tripoli dikuasai oleh para Bey secara turun temurun. Pada tahun 1739 ada pemberontakan yang berbahaya dari Syari Beg Oghlu di Austria. Daerah-daerah lain seperti Mesopotamia, Iraq, Syiria, Arabia, Yaman dan Asir terus berusaha untuk mendapatkan otonomi kekuasaan daerah yang luas. (Mughni, 1997: 66).

Baru kemudian setelah kekuasaan Ahmad III, keadaan istana menjadi lebih tenang. Para elit penguasa dan Sultan mulai menyadari kelemahan kerajaan dan berusaha untuk mengatasinya. Salim III memperkenalkan program pembaharuan yang terkenal dengan Nizum jedid, yang menekankan pada pembaharuan militer. Namun, program tersebut gagal karena ditentang oleh jenissari yang takut akan kehilangan pengaruh dan kekuasaan. Bahkan Salim III harus menemui ajalnya karena mempertahankan pembaharuan tersebut. Pada tahun 1808 M, Mahmud II kemudian meneruskan dan menyempurnakan program pembaharuan tersebut. Dan Jenissari, karena tetap membandel dibubarkan oleh Mahmud II pada tahun 1926 M (Nasution, 1996:90).

Periode kelima (1839-1922), ditandai dengan kebangkitan kultural dan Administrasi Negara di bawah pengaruh ide-ide Barat. Program pembaharuan yang dicanangkan Mahmud II ditindak lanjuti oleh penerus-penerusnya pada periode ini. Muncullah program Tanzimat, kemudian Usmani Muda dan Turki Muda, yang ke semuanya bermaksud membebaskan Turki Usmani dari cengkeraman kelumpuhan yang berkepanjangan.

Sementara di dalam negeri Turki Usmani sibuk dengan program pembaharuannya, mereka tetap terus menghadapi pertempuran dari musuh dan pemberontakan dari daerah kekuasaan. Tahun 1876, Bosnia dan Harzegovina memberontak pada tahun 1877 lewat perjanjian San Stefano, Turki Usmani dipaksa untuk mengakui kemerdekaan Bulgaria, Serbia, Rumania dan Montenegro. Serangan musuh semakin memuncak, dan pada tahun 1912, pasukan gabungan bahkan mengalahkan Turki Usmani dan berhasil merebut seluruh wilayah Eropa, kecuali wilayah kecil di sekitar Istanbul.

Namun pada tahun 1913 Trace berhasil direbut kembali oleh Turki Usmani. Masuknya Turki Usmani dalam kelompok Jerman dan Austria pada perang dunia pertama, yang kemudian dikalahkan oleh sekutu Perancis, Inggris, Rusia dan Italia, ternyata semakin memperparah kondisi Turki Usmani. Antara tahun 1912 sampai 1920, Turki Usmani telah kehilangan seluruh wilayah kekuasaannya di Balkan. Negara-negara baru muncul seperti Lebanon, Syiria, Palestina, Transyordan dan Iraq. Mesir sebagai Negara protektorat Inggris, memperoleh kemerdekaan penuh dari Turki Usmani. Proses politik berupa pengurangan dan pemecahan wilayah Turki Usmani yang mulai sejak lebih dari dua abad telah menemukan bentuknya berupa suatu sistem baru Negara bangsa (Lapidus, 1988:334-335). Turki Usmani sendiri akhirnya menjadi Negara Republik di bawah pimpinan Musthafa Kemal Attaturk. Sistem kesultanan dicabut pada tahun 1923 kemudian menyusul pencabutan kekhalifahan pada tahun 1924 (Ahmad, 1979:68).

Kemunduran Turki Usmani selama lebih kurang lima abad menjadikannya seperti seorang yang sedang mengidap penyakit yang menahun dan hanya menunggu saat-saat kematian. Turki usmani pada saat itu disebut sebagai ”The sick man of Europe” (orang sakit dari Eropa). Banyak faktor yang menyebabkan kerajaan Turki Usmani mengalami kemunduran, diantaranya adalah:

a. Faktor Internal 

1. Wilayah kekuasaan yang sangat luas Administrasi pemerintahan bagi suatu negara yang mempunyai Wilayah amat luas sangat rumit dan kompleks. Kondisi ini diperparah oleh ketidak beresan administrasi kerajaan Turki Usmani yang penuh dengan ketidakadilan, korupsi dan pencurian. Kemunduran Turki Usmani mungkin tidak akan datang begitu cepat apabila kekuasaannya hanya sebatas kekuasaan awal sebelum dilakukannya ekspansi. Dipihak lain, para penguasa sangat berambisi untuk menguasai Wilayah yang luas, sehingga mereka terlibat perang terus menerus dengan berbagai bangsa. Hal ini tentu banyak menyedot banyak potensi yang harusnya dapat digunakan untuk membangun Negara (Syalabi, 1977: 684; Yatim, 1994:167)

2. Heterogenitas Penduduk
Wilayah Turki Usmani yang luas didiami oleh penduduk yang beraneka ragam baik dari segi agama, ras, etnis maupun adat istiadat. Untuk mengatur penduduk yang beraneka ragam tersebut diperlukan suatu organisasi yang teratur. Tanpa didukung oleh administrasi yang baik, kerajaan Turki Usmani hanya akan menangung beban yang berat akibat heterogenitas tersebut. Perbedaan bangsa dan agama acap kali melatar belakangi terjadinya pemberontakan dan peperangan. (Yatim, 1994:167)

3. Kelemahan Para Penguasa
Setelah kekuasaan Sulaiman Al-Qonuni, kerajaan Turki Usmani tidak lagi memiliki sultan yang kuat dan cakap. Yang ada hanyalah sultan yang lemah yang tidak lagi mampu memenuhi tuntutan dan kebutuhan kerajaan yang maju. Mereka telah tenggelam ke dalam kehidupan glamour yang hanya menumpuk harta kekayaan hasil rampasan perang dari berbagai daerah taklukan. Sultan Salim I adalah contoh nyata dari kondisi tersebut. Yang kemudian diikuti oleh sultan-sultan lainnya. Karena sifatnya yang tidak baik tersebut ia digelari dengan al-Majuun.

4. Budaya Pungli
Pungli (rushwah) merupakan perbuatan yang sudah umum terjadi dalam kerajaan Turki Usmani. Setiap jabatan yang hendak diraih oleh seorang harus ”dibayar” dengan sogokan kepada orang yang berhak memberikan jabatan tersebut. Berjangkitnya budaya pungli ini mengakibatkan dekadensi moral yang kian merajalela yang membuat pejabat semakin rapuh. (Yatim, 1994:168).

5. Penyelewengan dan Pemberontakan Jenissari.
Jenissari (pasukan baru) dibentuk oleh Sultan Orkhan dengan merekrut anak-anak non muslim di daerah-daerah yang takluk di bawah kekuasaan Turki Usmani. Mereka di bawah ke Istambul, dipisahkan dari keluarga dan asalnya. Kemudian mereka mendidik dan dilatih dengan keras. Diberi pelajaran tentang Islam, sehingga mereka hanya taat dan patuh dan taat kepada sultan. Sampai suatu saat Jenissari mempunyai peran dominan dalam kerajaan (Al-Mun’im, tt:129, Nasution, 1996:17). Namun yang terjadi kemudian adalah tindakan indisipliner dan memudarnya loyalitas Jenissari kepada sultan. Mereka mulai turut campur dalam urusan non militer, seperti dalam pengangkatan menteri atau pemecatannya, mereka juga memasuki wilayah perekonomian dan produksi untuk memperoleh pendapatan tambahan, menikah dan mempunyai keluarga yang mapan, kemudian memasukkan anak mereka dalam tentara Jenissari (Lapidus, 1988:334).

Promosi dan pengangkatan perwira baru tidak lagi berdasarkan kemampuan, akan tetapi lebih mementingkan kepada besar kecilnya uang suap yang diberikan (Shaw, 1985: 6). Ketidakdisplinan Jenissari juga nampak dengan pemberontakan yang mereka lakukan terhadap pemerintah pada tahun 1525,1632,1727 dan 1826 M. pasukan Jenissari kemudian dibubarkan oleh Sultan mahmud II pada tahun 1826 M. (Yatim, 1994:168).

6. Merosotnya Ekonomi
Akibat perang yang tak pernah henti, perekonomian negara merosot, pendapatan berkurang, sementara belanja negara sangat besar, termasuk untuk biaya perang (Yatim, 1994: 168). Merosotnya ekonomi juga akibat munculnya kekuatan ekonomi baru di Eropa. Karena bahan-bahan mentah mulai beralih memasuki wilayah Eropa, sehingga di Turki terjadi kelangkaan komoditi tersebut, seperti gandum, wol, timah dan logam mulia (mughni, 1997:104).

7. Pemberontakan Daerah-Daerah Kekuasaan Ketidak puasan daerah terhadap pemerintahan pusat melahirkan pemberontakan tuntut menuntut otonomi ataupun kemerdekaan. Pemberontakan ini telah banyak menguras kemampuan Turki Usmani, baik militer maupun ekonomi. Pemberontakan tersebut terjadi antara lain di Mesir oleh Ali Bek Al-Kabir, abad XVI Mamluk di Iraq pada tahun 1704 M, Libanon, Syiria, Persia dan lain-lain (al-mun’im, tt:132).

Faktor Eksternal

1. Munculnya Negara-negara Kuat di Eropa

Mulai abad ke-17 M muncul Negara-negara kuat di Eropa seperti Inggris dan Perancis. Pada abad ke-18 menyusul Rusia dan Jerman munculnya kekuatan tersebut secara umum merupakan faktor yang mempercepat keruntuhan kerajaan Turki Usmani. Munculnya kekuatan baru tersebut disebabkan oleh beberapa penemuan dibidang teknologi yang selanjutnya mendorong bangkitnya kekuatan baru di bidang ekonomi maupun militer. (Mughni, 1997:112)

2. Munculnya ide-ide Baru

Munculnya ide-ide baru seperti nasionalisme, demokrasi, republik, kemerdekaan, konstitusi dan reformasi mendatangkan masalah tersendiri bagi Usmani. Ide kemerdekaan dan nasionalisme, misalnya, membuat daerah-daerah yang dikuasai Turki serentak bangkit menuntut kebebasan mereka.

Kemunduran Turki Usmani yang memakan waktu sangat panjang mencapai puncak pada saat menjalani kekalahan pada perang dunia pertama bersama Jerman dan Austria (1918 M). Tampilnya Mushtafa Kemal Attaturk sebagai penyelamat tidaklah membawa titik terang bagi Turki Usmani, bahkan sebaliknya. Tahun 1923, jabatan sultan dihapuskan menyusul pencabutan jabatan khalifah pada tahun 1924. Pada tahun 1923 juga majelis nasional agung memutuskan berdirinya Republik Turki, memilih Mushtafa Kemal Attaturk sebagai presiden dan memindahkan ibukota ke Ankara. (Nasution, 1996: 150-151).




Demikianlah Artikel Faktor Kehancuran Turki Usmani Sebagai Kekhalifahan Islam Terakhir

Sekianlah artikel Faktor Kehancuran Turki Usmani Sebagai Kekhalifahan Islam Terakhir kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Faktor Kehancuran Turki Usmani Sebagai Kekhalifahan Islam Terakhir dengan alamat link https://suksuksay.blogspot.com/2020/03/faktor-kehancuran-turki-usmani-sebagai.html

0 Response to "Faktor Kehancuran Turki Usmani Sebagai Kekhalifahan Islam Terakhir"

Posting Komentar